Makalah Penghantar Studi Islam

Posted by Unknown

BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Para ulama Hadits memberikan pengertian yang luas terhadap al-Sunnah disebabkan pandangan mereka terhadap Nabi Muhammad saw sebagai contoh yang baik bagi umat manusia, bukan sebagai stmber hukum. Oleh karena itu, ulama Hadits menerima dan meriwayatkan al-Sunnah secara utuh atas segala berita yang diterima tentang diri Nabi saw tanpa membedakan apa-yang diberitakan itu-isinya berkaitan dengan penetapan hukum syara ataupun tidak, juga menyebutkan bahwa perbuatan yang dilakukan Nabi sebelum atau sesudah beliau diangkat menjadi Rasul sebagai Sunnah.

Pada pembahasan ini kami sebagai pemakalah akan menjelaskan tentang al-sunnah yang meliputi pengertian, kedudukan, fungsi dan wilayah pembahasan al-sunnah.

B.       Ruang Lingkup Pembahasan
Agar pembahasan didalam makalah kami mudah dipahami, maka kami membatasi pembahasan dalam makalah kami, yaitu :
1.        Pengertian al-sunnah
2.        Kedudukan al-sunnah
3.        Fungsi al-sunnah
4.        Wilayah kajian al-sunnah

C.      Tujuan Pembahasan
1.        Untuk menjelaskan Pengertian dari al-sunnah.
2.        Untuk menjelaskan Kedudukan al-sunnah.
3.        Untuk menjelaskan Fungsi al-sunnah.
4.        Untuk menerangkan Wilayah kajian al-sunnah

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Sunnah
Sementara itu, terdapat beragam pendapat tentang pengertian sunnah menurut terminology. Menurut ahli hadis, sunnah berarti sabda, pekerjaan, ketetapan, sifat (watak budi atau jasmani); atau tingkah laku Nabi Muhammad saw, baik sebelum menjadi Nabi maupun sesudahnya. Dalam konteks ini, pengertian sunnah sama dengan hadis. Sementara itu, menurut kalangan ahli usul fiqih, sunnah diartikan sebagai sabda Nabi Muhammad saw yang bukan berasal dari al-Qur’an, pekerjaan, atau ketetapannya. Agak serupa dengan pendapat kedua, menurut ahli fiqih sunnah dimaknai sebagai hal-hal yang berasal dari Nabi Muhammad saw baik berupa ucapan maupun pekerjaan, tetapi hal itu tidak wajib dikerjakan.

Dalam al-Qur’an dan sabda Nabi juga terdapat beberapa kata sunnah. Paling tidak ada empat tempat dalam al-Qur’an yang memuat kata sunnah, yaitu Q.S al-Nisa’:26, Q.S al-Anfal:38, .S al-Isra:77, dan Q.S al-Fath:23.

Terhadap kata sunnah dalam tiga surat yang lain Ibnu Katsir memaknai kata sunnah dalam surat al-Anfal dengan aturan Allah yang diberlakukan terhadap orang-orang dahulu, sementara dalam surat al-Isra diartikan sebagai ketetapan (aturan) Allah terhadap orang-orang yang mengingkari rasul-rasulNya, dan dalam surat al-Fath ditafsirkan dengan sunnatullah dan kebiasaan Allah yang diterapkan kepada makhlukNya. Dengan demikian, kata sunnah dalam al-Qur’an lebih berarti tata cara dan kebiasaan.

As-Sunnah sendiri secara bahasa mempunyai pengertian yaitu:
1)      Jalan yang ditempuh
2)      Cara atau jalan yang sudah terbiasa
3)      Sebagai lawan dari kata bid’ah

Sedangkan sunnah menurut istilah syar’i adalah: Sesuatu yang berasal dari Rasulullah saw, baik berupa perkataan, perbuatan, maupun penetapan pengakuan.[1][1]

Dengan pengertian seperti ini, maka yang dimaksud dengan as-sunnah ialah segala sesuatu yang diperhatikan, dilarang, atau dianjurkan oleh Rasulullah saw baik berupa perkataan (qauli), perbuatan (fi’li) maupun ketetapannya (taqriri). Dengan demikian as-sunnah dijadikan pedoman hidup setelah Al-qur’an dan kita sering mendengar orang menyebut dalil-dalil syari’at dari Al-qur’an dan As-sunnah, itu maksudnya adalah Al-qur’an dan al-hadist.

Para ulama menafsirkan kata as-sunnah itu mempunyai makna yang berbeda-beda sesuai dengan disiplin ilmunya masing-masing, seperti perbedaan diantara ulama ahli hadist, ahli usul fiqih, dan para ahli fiqih dalam memaknai as-sunnah. Perbedaan makna yang dimaksud adalah:

a)      Menurut ulama ahli hadist, kata “As-Sunnah” maknanya adalah semua yang dinukil dari Nabi saw, yang berupa perkataan, perbuatan, dan sifat. Artinya semua yang datang dari Nabi disebut As-sunnah.
b)      Menurut istilah ulama ushul fiqih makna “As-sunnah” yaitu segala sesuatu yang datang dari Nabi berupa perkataan, perbuatan, dan ketetapan yang bisa dijadikan sebagai dalil syar’i. Ini berarti semua yang tidak dapat dijadikan sebagai dasar hukum sayari’at menurut ulama ushul fiqih tidak disebut as-sunnah.
c)      Menurut ulama fiqih, kata “As-sunnah” maknanya adalah semua amalan yang apabila dikerjakan mendapat pahala dan bila ditinggalkan tidak mendapatkan siksa. Atau sesuatu yang diperintahkan namun tidak diwajibkan.

Macam-macam al-Sunnah dilihat dari Segi bentuknya

Al-Sunnah jika dilihat dari segi bentuknya terdapat tiga perkara, yaitu:
1)      Sunnah qauliyah, yaitu Hadits-Hadits yang diucapkan langsung oleh Nabi saw dalam berbagai kesempatan terhadap berbagai masalah yang kemudian dinukil oleh para sahabat dalam bentuknya yang utuh sebagaimana diucapkan oleh Nabi saw. [1][2] Diantara contohnya yaitu Hadits dari Anas bin Malik bahwa rasulullah saw bersabda:

 “Hendaklah kamu meluruskan shaf (barisan) mu, karena sesungguhnya shaf yang lurus itu termasuk dari kesempurnaan shalat” (H. R. Muslim)

2)      Sunnah Fi’liyah, yaitu Hadits-Hadits yang berkaitan dengan perbuatan yang dilakukan oleh Nabi raw yang dilihat atau diketahui para sahabat, kemudian disampaikan kepada orang lain.

Dalam masalah ini, para ulama ushul fiqh membahas secara mendalam tentang kedudukan  Sunnah fi’liyah. Masalah yang dikemukakan adalah: Apakah seluruh perbuatan Rasulullah saw wajib diikuti umatnya atau tidak. Ulama ushul fiqh membaginya kepada:
a)      Perbuatan yang dilakukan Nabi saw sebagai manusia biasa, seperti makan, minum, duduk, berpakaian, memelihara jenggot dan sebagainya. Perbuatan seperti ini tidak termasuk sunnah yang wajib diikuti oleh umatnya. Hal ini dikarenakan perbuatan Nabi sebagai manusia biasa.
b)      Perbuatan yang dikerjakan Rasul saw yang menunjukkan bahwa perbuatan tersebut khusus untuk dirinya, seperti melakukan shalat tahajjud setiap malam, menikahi perempuan lebih dari empat atau menerima sedekah dari orang lain. Perbuatan seperti ini adalah khusus untuk diri Rasul dan tidak wajib diikuti.
c)      Perbuatan yang berkenaan dengan hukum dan ada alasannya, yaitu, sunnat, haram, makruh dan mubah. Perbuatan seperti ini menjadi syari’at bagi umat Islam.
d)     Sunnah Taqririyah, yaitu Hadits yang berupa ketetapan Nabi saw terhadap apa yang datang atau yang dilakukan sahabatnya. Nabi saw membiarkan atau mendiamkan suatu perbuatan yang dilakukan oleh para sahabatnya tanpa memberikan penegasan apakah beliau bersikap membenarkan atau mempermasalahkannya.

B.     Kedudukan As-Sunnah
Untuk mengetahui bahwa as-sunnah itu sebagai sumber hokum islam, kita dapat memperhatikan dalil-dalil berikut ini.

1)      Dalil Al-qur’an
Didalam Al-quran Allah menjelaskan kehujahan sunnah Nabi dengan berbagai cara, salah satu diantaranya memerintahkan orang yang beriman untuk mengembalikan perselisihan pendapat yang terjadi diantara mereka kepada Allah dan RasulNya. Sesuai dengan firman Allah yang tertulis pada surat An-nisa:59

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”

Menurut dalil Al-qur’an diatas bahwa yang dimaksud mengembalikan kepada Allah yaitu berarti mengembalikan suatu permasalahan kepada Al-qur’an, dan mengembalikan sesuatu kepada Rasul adalah mengembalikan kepada sunnah Rasul.[1][3]

2)      Dalil Al-hadist
Selain Al-qur’an, al-hadist juga menjelaskan tentang kedudukan as-sunnah sebagai sumber hukum islam, antara lain:

Artinya: “Aku tinggalkan dua pusaka untukmu sekalian, yang kalian tidak akan tersesat selagi berpegang teguh kepada keduanya yaitu kitab Allah dan sunnah RasulNya”

Hadist tersebut diatas menjelaskan kepada kita bahwa umat islam wajib berpegang teguh kepada keduanya yaitu kitab Allah dan sunnah RasulNya.

3)      Kesepakatan para ulama (ijma’)
Umat islam telah sepakat menjadikan sunnah sebagai salah satu hokum beramal, karena sesuai yang dikehendaki RasluNya. Mereka menerima sunnah seperti halnya mereka menerima Al-qur’an. Keduanya dijadikan sumber hokum dalam islam.

Kesepakatan umat islam dalam mempercayai dan menerima serta mengamalkan segala ketentuan yang terkandunga dalam as-sunnah terus berlanjut sejak masa Rasul masih hidup. Sepeninggal beliau, mulai zaman Khulafa Al-Rasyidin hingga masa-masa selanjutnya, dan tidak ada yang mengingkarinya.

4)      Sesuai dengan petunjuk akal
Secara akal pun dapat dinyatakan bahwa konsekuensi mempercayai Muhammad sebagai Rasul Allah mengharuskan menerima dan mentaati segala yang beliau perintahkan dan yang beliau larang. Suatu kepercayaan tanpa dibarengi oleh penerimaan dan ketaatan terhadap apa yang dipercayai adalah bohong semata.

C.    Fungsi al-Sunnah
Fungsi al-sunnah dapat dilihat melalui firman Allah dalam al-Qur’an. Menurut Azami, paling tidak ada empat kedudukan dan fungsi sunnah dalam islam.

1.      Menjelaskan Kitabullah
Diantara tugas Rasulullah saw adalah menjelaskan hal-hal yang masih global (mujmal) dalam al-Qur’an. Banyak ayat al-Qur’an yang masih memerlukan penjelasan praktis. Karena itu, Rasulullah tidak dapat dilepaskan dari tugas ini. Tentu saja penjelasan terhadap kandungan al-Qur’an bukan sekedar “membaca al-Qur’an”. Menolak penjelasan Rasulullah sama saja dengan menolak perintah Allah yang ditegaskan dalam al-Qur’an. Tentang tugas ini paling tidak tercemin dalam Q.S al-Nahl:44

artinya, “Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. dan kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang Telah diturunkan kepada mereka  dan supaya mereka memikirkan,”[1][4]

2.      Rasulullah sebagai uswatun hasanah
Kedudukan Rasulullah sebagai contoh bagi umat manusia (Islam) setidaknya tercermin dari perintah Allah dalam Q.S al-Ahzab:21,

Artinya : “Sesungguhnya Telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.”

Makna mencontoh disini melalui apa yang dikatakan, diperbuat, dan ditetapkan oleh Rasulullah, meskipun tidak sekedar dalam pengertian harfiyah, namun bagaimana cara dan model berfikir Rasulullah dalam menyelesaikan sebuah persoalan dapat dicontoh untuk mengatasi berbagai persoalan mutakhir.

3.      Rasulullah wajib ditaati
Mentaati Rasulullah sama dengan mentaati Allah, sebab apa yang diperintahkan Allah dalam al-Qur’an.

4.      Rasulullah mempunyai kewenangan membuat aturan.

D.    Wilayah Kajian al-Sunnah
Bahasan studi al-Sunnah pun tidak kalah banyaknya dengan studi tentang al-qur’an. Topik-topik bahasan al-Sunnah dapat digambarkan demikian;

Pertama, tentang pengertian hadis, sunnah, khabar, athar, dan hadis kudsi. Masuk pula didalamnya klasifikasi hadis dari segi banyak dan sedikitnya perowi, yang meliputi: (1) hadis mutawatir dan hadis ahad, dan klasifikasi hadis ahad kepada sahih, hasan, dan dho’if.

Kedua, sejarah dan perkembangan pembukuan hadis, mulai dari priode pertama (masa nabi) sampai sekarang.

Ketiga, berbicara tentang macam-macam kitab hadis dan derajatnya.

Keempat, tentang cabang-cabang ilmu hadis, yang meliputi ilmu rijal al-hadis, ilmu jarh wa al-ta’dil, ilmu ‘ilal al-hadis, ilmu gharib al-hadis, ilmu nasikh wa al-mansukh, ilmu asbab al-wurud al-hadis, dll.

Kelima, ilmu mustolah hadis, yang meliputi maratanrai (transmitor / sanad) dan isi hadis (matan).

Keenam, bahasan tentang unsur-unsur yang harus ada dalam lenerima hadis, yaitu: perowi, matan, dan sanad.

BAB III
PENUTUP

Dari pembahasan diatas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan As-sunnah sebagai sumber hukum islam ialah bahwa selain terhadap Al-qur’an, seluruh umat islam wajib menjadikan sunnah sebagai pedoman dan pandangan hidup, dan menyandarkan segala permasalahan hidupnya kepada sunnah. Jadi seorang muslim tidak mungkin memahami syari’at islam ataupun mengambil suatu dalil tanpa kembali kepada kedua sumber hukum tersebut. Apabila terjadi seperti demikian, maka orang tersebut dinyatakan sesat.

Ibnu Badrun berkata: setiap orang yang berpengetahuan mengetahui bahwa tetapnya kehujahan sunnah dalam menetapkan hokum adalah hal pokok dalam agama, dan tidak mengingkari hal tersebut kecuali orang yang merugi dalam islam.

DAFTAR PUSTAKA

Nasution, Khoiruddin. 2009. Pengantar Studi Islam. Yogyakarta:    ACAdeMIA+Tazzafa.

Darmawan, Andy, M.Ag. 2005. Pengantar Studi Islam. Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga.

Imam Muslim, Shahih Muslim bi Syarh al-Nawawi, (Indonesia: Maktabah Wahbah,)

Mahmud al-Thahan, Taisir Musthalah al-Hadits, (Surabaya: Syirkah Bongkol          Indah, 1985)

http://studikumpulanmakalah.blogspot.com/2012/12/makalah-penghantar-studi-islam_21.html

[1][1] Muhammad ‘Ajaj al-Khatib, Al-Sunnah Qabla Tadwin, (Beirut: Dar al-Fikr, 1993), h. 14

[1][2] Wahbah al-Zuhaily, Ushul Fiqh al-Islami, (Beirut: Dar al-Fikr, 1986), Juz I, h. 450

[1][3] dikutip oleh Omar Hasyim, dari kitab Ushul kafi, pada jurnal makalah Ilmu-Ilmu Islam al-Huda, (Jakarta: vol 1, No. 5, 2000), h. 50

[1][4] Mahmud al-Thahan, Taisir Musthalah al-Hadits, (Surabaya: Syirkah Bongkol Indah, 1985), h. 14
Artikel Terkait
0 Comments
Tweets
Comments

{ 0 comments... read them below or add one }

Post a Comment