MAKALAH PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

Posted by Unknown

BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Mengingat di Indonesia mayoritas masyarakatnya muslim dan merupakan penduduk muslim terbesar di dunia, tetapi terdapat karakter-karakter anak didik maupun masyarakat indonesia yang tidak sesuai dengan pendidikan islam. Pemerintah indonesia pun kurang mengetahui dan memahami tentang pentingnya pendidikan islam terhadap masyarakat indonesia. Maka kami akan mencoba untuk menela’ah sekaligus membahas akan pentingnya pendidikan islam di masyarakat Indonesia, agar tercipta anak-
1.2  Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka pembahasan makalah ini akan difokuskan pada masalah-masalah sebagai berikut:
  1. Apa hakikat pendidikan Islam (pengertian, tujuan, karakteristik, dsb)?
  2. Mengapa diperlukan pendidikan Islam?
  3. Bagaimana langkah-langkah menanamkan pendidikan Islam?
1.3  Tujuan Makalah
Adapun tujuan dari pembahasan pada makalah ini adalah sebagai berikut
  1. Mengetahui dan memahami hakikat dari pendidikan islam.
  2. Mengetahui dan memahami sangat diperlukannya pendidikan islam.
  3. Mengetahui langkah- langkah menanamkan pendidikan islam



BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Hakikat Pendidikan Islam
2.1.1 Pengertian Pendidikan Islam
Pendidikan merupakan suatu proses generasi muda untuk dapat menjalankan kehidupan dan memenuhi tujuan hidupnya secara lebih efektif dan efisien. Pendidikan lebih daripada pengajaran, karena pengajaran sebagai suatu proses transfer ilmu belaka, sedang pendidikan merupakan transformasi nilai dan pembentukan kepribadian dengan segala aspek yang dicakupnya.
Perbedaan pendidikan dan pengajaran terletak pada penekanan pendidikan terhadap pembentukan kesadaran dan kepribadian anak didik di samping transfer ilmu dan keahlian. Pengertian pendidikan secara umum yang dihubungkan dengan Islam—sebagai suatu system keagamaan—menimbulkan pengertian-pengertian baru, yang secara implicit menjelaskan karakteristik-karakteristik yang dimilikinya.
Pengertian pendidikan dengan seluruh totalitasnya dalam konteks Islam inheren dengan konotasi istilah “tarbiyah, ta’lim, dan ta’dib” yang harus dipahami secara bersama-sama. Ketiga istilah ini mengandung makna yang mendalam menyangkut manusia dan masyarakat serta lingkungan yang dalam hubungannya dengan Tuhan saling berkaitan satu sama lain. Istilah-istilah itu pula sekaligus menjelaskan ruang lingkup pendidikan Islam: informal, formal dan non formal. Hasan Langgulung merumuskan pendidikan Islam sebagai suatu proses penyiapan generasi muda untuk mengisi peranan, memindahkan pengetahuan dan nilai-nilai Islam yang diselaraskan dengan fungsi manusia untuk beramal di dunia dan memetik hasilnya di akhirat.
Dari berbagai literatur terdapat berbagi macam pengertian pendidikan Islam. Menurut Athiyah Al-Abrasy, pendidikan Islam adalah mempersiapkan manusia supaya hidup dengan sempurna dan bahagia, mencintai tanah air, tegap jasmaninya, sempurna budi pekertinya, pola pikirnya teratur dengan rapi, perasaannya halus, profesiaonal dalam bekerja dan manis tutur sapanya. Sedang Ahmad D. Marimba memberikan pengertian bahwa pendidikan Islam adalah bimbingan jasmani dan rohani berdasarkan hukum-hukum islam menuju kepada terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam.
Sedangkan menurut Syed Muhammad Naqib Al-Attas, pendidikan adalah suatu proses penamaan sesuatu ke dalam diri manusia mengacu kepada metode dan sistem penamaan secara bertahap, dan kepada manusia penerima proses dan kandungan pendidikan tersebut.
Dari definisi dan pengertian itu ada tiga unsur yang membentuk pendidikan yaitu adanya proses, kandungan, dan penerima. Kemudian disimpulkan lebih lanjut yaitu ” sesuatu yang secara bertahap ditanamkan ke dalam diri manusia”.Jadi definisi pendidikan Islam adalah, pengenalan dan pengakuan yang secara berangsur-angsur ditanamkan ke dalam diri manusia, tentang tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan, sehingga membimbing ke arah pengenalan dan pengakuan tempat Tuhan yang tepat di dalam tatanan wujud dan kepribadian. Jadi pendidikan ini hanyalah untuk manusia saja.
Kembali kepada definisi pendidikan Islam yang menurut Al-Attas diperuntutukan untuk manusia saja. menurutnya pendidikan Islam dimasukkan dalam At-ta’dib, karena istilah ini paling tepat digunakan untuk menggambarkan pengertian pendidikan itu, sementara istilah tarbiyah terlalu luas karena pendidikan dalam istilah ini mancakup juga pendidikan kepada hewan. Menurut Al-Attas Adabun berarti pengenalan dan pengakuan tentang hakikat bahwa pengetahuan dan wujud bersifat teratur secara hierarkis sesuai dengan beberapa tingkat dan tingkatan derajat mereka dan tentang tempat seseorang yang tepat dalam hubungannya dengan hakikat itu serta dengan kepastian dan potensi jasmaniah, intelektual, maupun rohaniah seseorang.
Dari pengertian Al-Attas tersebut dibutuhkan pemahaman yang mendalam, arti dari pengertian itu adalah, “pengenalan” adalah menemukan tempat yang tepat sehubungan denagn apa yang dikenali, sedangkan “pengakuan” merupakan tindakan yang bertalian dengan pengenalan tadi. Pengenalan tanpa pengakuan adalah kecongkakan, dan pengakuan tanpa pengenalan adalah kejahilan belaka. Dengan kata lain ilmu dengan amal haruslah seiring. Ilmu tanpa amal maupun amal tanpa ilmu adalah kesia-siaan. Kemudian tempat yang tepat adalah kedudukan dan kondisinya dalam kehidupan sehubungan dengan dirinya, keluarga, kelompok, komunitas dan masyarakatnya, maksudnya dalam mengaktualisasikan dirinya harus berdasarkan kriteria Al-Quran tentang ilmu, akal, dan kebaikan (ihsan) yang selanjutnya mesti bertindak sesuai dengan ilmu pengetahuan secara positif, dipujikan serta terpuji.
2.1.2 Karakteristik Dalam Pendidikan Islam
Islam diturunkan sebagai rahmatan lil ‘alamin. Untuk mengenalkan Islam ini diutus Rasulullah SAW. Tujuan utamanya adalah memperbaiki manusia untuk kembali kepada Allah SWT. Oleh karena itu selama kurang lebih 23 tahun Rasulullah SAW membina dan memperbaiki manusia melalui pendidikan. Pendidikanlah yang mengantarkan manusia pada derajat yang tinggi, yaitu orang-orang yang berilmu. Ilmu yang dipandu dengan keimanan inilah yang mampu melanjutkan warisan berharga berupa ketaqwaan kepada Allah SWT.
Manusia mendapat kehormatan menjadi khalifah di muka bumi untuk mengolah alam beserta isinya. Hanya dengan ilmu dan iman sajalah tugas kekhalifahan dapat ditunaikan menjadi keberkahan dan manfaat bagi alam dan seluruh makhluk-Nya. Tanpa iman akal akan berjalan sendirian sehingga akan muncul kerusakan di muka bumi dan itu akan membahayakan manusia. Demikian pula sebaliknya iman tanpa didasari dengan ilmu akan mudah terpedaya dan tidak mengerti bagaimana mengolahnya menjadi keberkahan dan manfaat bagi alam dan seisinya.
Sedemikian pentingnya ilmu, maka tidak heran orang-orang yang berilmu mendapat posisi yang tinggi baik di sisi Allah maupun manusia. (QS. Al Mujadilah (58) : 11). Bahkan syaithan kewalahan terhadap orang muslim yang berilmu, karena dengan ilmunya, ia tidak mudah terpedaya oleh tipu muslihat syaithan.
Muadz bin Jabal ra. berkata: “Andaikata orang yang beakal itu mempunyai dosa pada pagi dan sore hari sebanyak bilangan pasir, maka akhirnya dia cenderung masih bisa selamat dari dosa tersebut namun sebaliknya, andaikata orang bodoh itu mempunyai kebaikan dan kebajikan pada pagi dan sore hari sebanyak bilangan pasir, maka akhirnya ia cenderung tidak bisa mempertahankannya sekalipun hanya seberat biji sawi.” Ada yang bertanya, “Bagaimana hal itu bisa terjadi?” Ia menjawab, “Sesungguhnya jika orang berakal itu tergelincir, maka ia segera menyadarinya dengan cara bertaubat, dan menggunakan akal yang dianugerahkan kepadanya. Tetapi orang bodoh itu ibarat orang yang membangun dan langsung merobohkannya karena kebodohannya ia terlalu mudah melakukan apa yang bisa merusak amal shalihnya.”
Kebodohan adalah salah satu faktor yang menghalangi masuknya cahaya Islam. Oleh karena itu, manusia butuh terapi agar menjadi makhluk yang mulia dan dimuliakan oleh Allah SWT. Kemuliaan manusia terletak pada akal yang dianugerahi Allah. Akal ini digunakan untuk mendidik dirinya sehingga memiliki ilmu untuk mengenal penciptanya dan beribadah kepada-Nya dengan benar. Itulah sebabnya Rasulullah SAW menggunakan metode pendidikan untuk memperbaiki manusia, karena dengan pendidikanlah manusia memiliki ilmu yang benar. Dengan demikian, ia terhindar dari ketergelinciran pada maksiat, kelemahan, kemiskinan dan terpecah belah.
2.1.3 Tujuan Pendidikan Islam
Tujuan pendidikan Islam tidak terlepas dari tujuan hidup manusia dalam Islam, yaitu untuk menciptakan pribadi-pribadi hamba Allah yang selalu bertakwa kepadaNya, dan dapat mencapai kehidupan yang berbahagia di dunia dan akhirat (lihat S. Al-Dzariat:56; S. ali Imran: 102).
Dalam konteks sosiologi pribadi yang bertakwa menjadi rahmatan lil ‘alamin, baik dalam skala kecil maupun besar. Tujuan hidup manusia dalam Islam inilah yang dapat disebut juga sebagai tujuan akhir pendidikan Islam.
Tujuan khusus yang lebih spesifik menjelaskan apa yang ingin dicapai melalui pendidikan Islam. Sifatnya lebih praxis, sehingga konsep pendidikan Islam jadinya tidak sekedar idealisasi ajaran-ajaran Islam dalam bidang pendidikan. Dengan kerangka tujuan ini dirumuskan harapan-harapan yang ingin dicapai di dalam tahap-tahap tertentu proses pendidikan, sekaligus dapat pula dinilai hasil-hasil yang telah dicapai.
Menurut Abdul Fatah Jalal, tujuan umum pendidikan Islam ialah terwujudnya manusia sebagai hamba Allah. Jadi menurut Islam, pendidikan haruslah menjadikan seluruh manusia yang menghambakan kepada Allah. Yang dimaksud menghambakan diri ialah beribadah kepada Allah.
Islam menghendaki agar manusia dididik supaya ia mampu merealisasikan tujuan hidupnya sebagaimana yang telah digariskan oleh Allah. Tujuan hidup menusia itu menurut Allah ialah beribadah kepada Allah. Seperti dalam surat a Dzariyat ayat 56 :Dan Aku menciptakan Jin dan Manusia kecuali supaya mereka beribadah kepada-Ku”. Jalal menyatakan bahwa sebagian orang mengira ibadah itu terbatas pada menunaikan shalat, shaum pada bulan Ramadhan, mengeluarkan zakat, ibadah Haji, serta mengucapkan syahadat. Tetapi sebenarnya ibadah itu mencakup semua amal, pikiran, dan perasaan yang dihadapkan (atau disandarkan) kepada Allah. Aspek ibadah merupakan kewajiban orang islam untuk mempelajarinya agar ia dapat mengamalkannya dengan cara yang benar.
Ibadah ialah jalan hidup yang mencakup seluruh aspek kehidupan serta segala yang dilakukan manusia berupa perkataan, perbuatan, perasaan, pemikiran yang disangkutkan dengan Allah.
Menurut al Syaibani, tujuan pendidikan Islam adalah :
1. Tujuan yang berkaitan dengan individu, mencakup perubahan yang berupa pengetahuan, tingkah laku masyarakat, tingkah laku jasmani dan rohani dan kemampuan-kemampuan yang harus dimiliki untuk hidup di dunia dan di akhirat.
2. Tujuan yang berkaitan dengan masyarakat, mencakup tingkah laku masyarakat, tingkah laku individu dalam masyarakat, perubahan kehidupan masyarakat, memperkaya pengalaman masyarakat.
3. Tujuan profesional yang berkaitan dengan pendidikan dan pengajaran sebagai ilmu, sebagai seni, sebagai profesi, dan sebagai kegiatan masyarakat.
Menurut al abrasyi, merinci tujuan akhir pendidikan islam menjadi
1. Pembinaan akhlak.
2. menyiapkan anak didik untuk hidup dudunia dan akhirat.
3. Penguasaan ilmu.
4. Keterampilan bekerja dalam masyrakat.
Menurut Asma hasan Fahmi, tujuan akhir pendidikan islam dapat diperinci menjadi :
1. Tujuan keagamaan.
2. Tujuan pengembangan akal dan akhlak.
3. Tujuan pengajaran kebudayaan.
4. Tujuan pembicaraan kepribadian.
Menurut Munir Mursi, tujuan pendidikan islam menjadi :
1. Bahagia di dunia dan akhirat.
2. menghambakan diri kepada Allah.
3. Memperkuat ikatan keislaman dan melayani kepentingan masyarakat islam.
4. Akhlak mulia.
2.3 Mengapa Diperlukan Pendidikan Islam
Pendidikan merupakan kata kunci untuk setiap manusia agar ia mendapatkan ilmu. Hanya dengan pendidikanlah ilmu akan didapat dan diserap dengan baik. Tak heran bila kini pemerintah mewajibkan program belajar 9 tahun agar masyarakat menjadi pandai dan beradab. Pendidikan juga merupakan metode pendekatan yang sesuai dengan fitrah manusia yang memiliki fase tahapan dalam pertumbuhan.
Pendidikan Islam memiliki 3 (tiga) tahapan kegiatan, yaitu: tilawah (membacakan ayat Allah), tazkiyah (mensucikan jiwa) dan ta’limul kitab wa sunnah (mengajarkan al kitab dan al hikmah). Pendidikan dapat merubah masyarakat jahiliyah menjadi umat terbaik disebabkan pendidikan mempunyai kelebihan. Pendidikan mempunyai ciri pembentukan pemahaman Islam yang utuh dan menyeluruh, pemeliharaan apa yang telah dipelajarinya, pengembangan atas ilmu yang diperolehnya dan agar tetap pada rel syariah. Hasil dari pendidikan Islam akan membentuk jiwa yang tenang, akal yang cerdas dan fisik yang kuat serta banyak beramal.
Pendidikan Islam berpadu dalam pendidikan ruhiyah, fikriyah dan amaliyah (aktivitas). Nilai Islam ditanamkan dalam individu membutuhkan tahpan-tahapan selanjutnya dikembangkan kepada pemberdayaan di segala sektor kehidupan manusia. Potensi yang dikembangkan kemudian diarahkan kepada pengaktualan potensi dengan memasuki berbagai bidang kehidupan.
Pendidikan yang diajarkan Allah SWT melalui Rasul-Nya bersumber kepada Al Qur’an sebagai rujukan dan pendekatan agar dengan tarbiyah akan membentuk masyarakat yang sadar dan menjadikan Allah sebagai Ilah saja.Kehidupan mereka akan selamat di dunia dan akhirat. Hasil ilmu yang diperolehnya adalah kenikmatan yang besar, yaitu berupa pengetahuan, harga diri, kekuatan dan persatuan.
Tujuan utama dalam pendidikan Islam adalah agar manusia memiliki gambaran tentang Islam yang jelas, utuh dan menyeluruh.
Interaksi di dalam diri ini memberi pengaruh kepada penampilan, sikap, tingkah laku dan amalnya sehingga menghasilkan akhlaq yang baik. Akhlaq ini perlu dan harus dilatih melalui latihan membaca dan mengkaji Al Qur’an, sholat malam, shoum (puasa) sunnah, berhubungan kepada keluarga dan masyarakat. Semakin sering ia melakukan latihan, maka semakin banyak amalnya dan semakin mudah ia melakukan kebajikan. Selain itu latihan akan menghantarkan dirinya memiliki kebiasaan yang akhirnya menjadi gaya hidup sehari-hari.
3.2 Langkah- langkah Menanamkan Pendidikan Islam
Al-Qurthubi menyatakan bahwa ahli-ahli agama Islam membagi pengetahuan menjadi tiga tingkatan yaitu pengetahuan tinggi, pengetahuan menengah, dan pengetahuan rendah. Pengetahuan tinggi ialah ilmu ketuhanan, menengah ialah pengetahuan mengenai dunia seperti kedokteran dan matematika, sedangkan pengetahuan rendah ialah pengetahuan praktis seperti bermacam-macam keterampilan kerja. Ini artinya bahwa pendidikan iman/agama harus diutamakan.
Menurut pandangan Islam pendidikan harus mengutamakan pendidikan keimanan. Pendidikan di sekolah juga demikian. Sejarah telah membuktikan bahwa pendidikan yang tidak atau kurang memperhatikan pendidikan keimanan akan menghasilkan lulusan yang kurang baik akhlaknya. Akhlak yang rendah itu akan sangat berbahaya bagi kehidupan bersama. Ia  dapat menghancurkan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Lulusan sekolah yang kurang kuat imannya akan sangat sulit menghadapi kehidupan pada zaman yang semakin penuh tantangan di masa mdndatang.Oleh karena itu, mengingat pentingnya pendidikan Islam terutama bagi generasi muda, semua elemen bangsa, terutama guru pendidikan Islam, perlu membumikan kembali pendidikan Islam di sekolah-sekolah baik formal maupun informal.
Ada tiga hal yang harus secara serius dan konsisten  diajarkan kepada anak didik. Pertama, Pendidikan akidah/keimanan.Ini merupakan hal yang sangat penting untuk mencetak generasi muda masa depan yang tangguh dalam imtaq (iman dan taqwa)  dan terhindar dari aliran atau perbuatan yang menyesatkan kaum remaja seperti gerakan Islam radikal, penyalagunaan narkoba, tawuran dan pergaulan bebas (freesex) yang akhir-akhir ini sangat dikhawatirkan oleh sejumlah kalangan.
Kedua, Pendidikan ibadah. Ini merupakan hal yang sangat penting untuk  diajarkan kepada anak-anak kita untuk membangun generasi muda yang punya komitmen dan terbiasa melaksanakan ibadah.
Seperti shalat, puasa, membaca al-Quran yang saat ini hanya dilakukan oleh minoritas generasi muda kita. Bahkan, tidak sedikit anak remaja yang sudah berani meninggalkan ibadah-ibadah wajibnya dengan sengaja. Di sini peran orang tua dalam memberikan contoh dan teladan yang baik bagi anak-anaknya sangat diperlukan selain guru juga harus menanamkan secara mantab kepada anak-anak didiknya.
Ketiga, Pendidikan akhlakul-karimah. Hal ini juga harus mendapat perhatian besar  dari para orang tua dan para pendidik baik lingkungan sekolah maupun di luar sekolah (keluarga). Dengan pendidikan akhlakul-karimah akan melahirkan generasi rabbani, atau generasi yang bertaqwa, cerdas dan berakhlak mulia.Penanaman pendidikan Islam bagi generasi muda bangsa tidak akan bisa berjalan secara optimal dan konsisten tanpa dibarengi keterlibatan serius dari semua pihak. Oleh karena itu,  semua elemen bangsa (pemerintah, tokoh agama, masyarakat, pendidik, orang tua dan sebagainya) harus memiliki niat dan keseriusan untuk melakukan ini. Harapannya, generasi masa depan bangsa ini adalah generasi yang berintelektual tinggi dan berakhlak mulia.



BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dengan pemaparan definisi pendidikan islam di atas dapat disimpulkan bahwa definisi pendidikan islam adalah proses pembentukan kepribadian manusia kepribadian islam yang luhur. Bahwa pendidikan islam bertujuan untuk menjadikannya selaras dengan tujuan utama manusia menurut islam, yakni beribadah kepada Allah swt.
Diharapkan dengan pemahaman hakikat pendidikan islam ini. Member motivasi agar manusia khususnya muslim selalu mencari ilmu hingga akhir hayat, dalam rangka merealisasikan tujuan yang telah disebutkan dalam QS. Adz-Dzariyat: 56 dapat diaplikasikan secara berkelanjutan.
3.2  Saran
Setelah membahas hakikat pendidikan islam ini. Maka kami berharap pendidikan islam lebih di utamakan dan di pelajari lebih mendalam, khususnya dalam kehidupan sehari- hari dan menanamkannya pada generasi muda agar syari’at dan ajaran islam dapat di mengerti dan di pahami oleh generasi muda dalam mengaplikasikannya didalam kehidupan sehari- hari.



DAFTAR PUSAKA
Arifin, Muzayyin, Prof., M.Ed., Filsafat Pendidikan Islam, PT Bumi Aksara, Jakarta, 2010
Ihsan, Hamdani, Drs, dan Ihsan, Fuad Ahmad, Drs., Filsafat Pendidikan Islam, CV Pustaka                     Setia, Bandung, 2007
Zakiya Daradjat, Prof., Dr., Pendidikan Islam, PT Bumi Aksara, Jakarta, 1991
http://blog.uin-malang.ac.id/fityanku/makalah-tentang-penddikan-agama-islam/

More aboutMAKALAH PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

MAKALAH DIFERENSIASI SOSIAL

Posted by Unknown


OLEH : MAHMUD ISNAINI
NIM. 16410075 

MAHASISWA PSIKOLOGI 
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI  MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG

BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG MASALAH

Apakah dilingkungan sekitarmu masih terdapat orang yang memiliki ciri khas dari masing-masing daerah yang berbeda? Jawabannya pasti ada. Setiap daerah pasti memiliki ragam kebudayaan yang berbeda dan memiliki ciri khas dari masing-masing daerah tersebut. Apalagi sekarang merupakan zaman globalisasi dan memungkinkan setiap orang dapat berpindah tempat, selain itu juga dapat memungkinkan terjadinya DIFERENSIASI SOSIAL diantara masyarakat.

Kalau tidak percaya, sekarang coba perhatikan lingkungan sekitarmu! Apakah kamu tahu berasal dari mana mereka? Apa mata pencaharian mereka? Mungkin kita hanya memgetahui sedikit tentang mereka. Nah disini kita akan membahas hal-hal yang berkaitan dengan DEFERENSIASI SOSIAL dalam masyarakat.

B.     TUJUAN

·         Memahami  Pengertian  Diferensiasi sosial

·         Mengetahui Bentuk-bentuk  Diferensiasi sosial

·         Mengetahui Contoh-contoh  Diferensiasi sosial di lingkungan sekitar

BAB II
MATERI

A.    PENGERTIAN DIFERENSIASI SOSIAL

DIFFERENSISASI SOSISAL adalah bentuk lapisan tetapi tidak ada tingkatan tinggi atau rendahnya kelas sosial dalam masyarakat. diferensiasi sosial merupakan bentuk dari struktutur sosial yang bersifat horizontal. Differensiasi sosial memiliki 3 ciri :

·         ciri fisik

·         ciri social

·         ciri budaya

B.     BENTUK-BENTUK DIFERENSIASI SOSIAL

Berbagai bentuk differensiasi sosial dalam masyarakat berdasarkan perbedaan Ras,Agama,Jenis kelamin,Profesi,Klan,dan Suku bangsa.

Diferensiasi sosial merupakan perbedaan seseorang dilihat dari suku bangsa, ras, agama, klan, dsb.

Pada intinya hal-hal yang terdapat dalam diferensiasi itu tidak terdapat tingkatan-tingkatan, namun yang membedakan satu individu dengan individu yang lainnya adalah sesuatu yang biasanya telah ia bawa sejak lahir.

Contohnya saja, suku sunda dan suku batak memiliki kelebihan masing-masing. jadi seseorang tidak bisa menganggap suku bangsanya lebih baik, karena itu akan menimbulkan etnosentrisme dalam masyarakat.

Diferensiasi merupakan perbedaan yang dapat kita lihat dan kita rasakan dalam masyarakat, bukan untuk menjadikan kita berbeda tingkat sosialnya seperti yang terjadi di Afrika Selatan.

Contoh bentuk diferensiasi sosial ;

a.       RAS

Ras adalah kategori individu yang secara turun-temurun memiliki ciri fisik dan biologis tertentu.  Manusia di dunia pasti memiliki perbedaan fisik seperti warna kulit, bentuk hidung, bentuk rambut, dan sebagainya antara manusia lainnya dimuka bumi.  Contohnya : Di lingkungan tempat tinggal Nurul di Jl. HM Swignyo Gg. Swignyo 1, terdapat beberapa orang yang memiliki ras yang berbeda.  Ada yang berkulit sawo matang,kuning langsat, putih dan berambut lurus, keriting, bergelombang dsb.

b.      ETNIS (SUKU BANGSA)

Suku bangsa adalah golongan sosial yang dibedakan dari golongan sosial yang lain karena mempunyai ciri-ciri yang paling mendasar umum berkaiutan dengan asal-usul dan tempat asal serta kebudayaan.

Contohnya : Di daerah kakap terdapat banyak suku yang berbeda seperti suku bugis, suku sambas, suku melayu, dsb tetapi mereka tetap bisa akur satu sama lainnya.  Walaupun banyak perbedaan yang berasal dari daerah masing-masing.

c.       KLAN

Klan adalah suatu kelompok kekerabatan yang terdapat dalam masyarakat dengan menarik garis keturunan secara unilateral.

Contohnya : Seperti 2 orang siswi di kelas XI IPS 2 SMAN 2 yaitu Windi Minha ZF yang merupakan keturunan Padang, Minangkabau mengikuti aliran Ibu (matrilineal). Dan Ruth S. Sihombing keturunan batak yang mengikuti aliran ayah (patrilineal).

d.      AGAMA

Menurut Emile Durkheim agama adalah sebagai suatu sistem terpadu mengenai kepercayaan dan praktik yang berhubungan dengan hal yang suci dan menyatukan semua pengikutnya ke dalam suatu komunitas moral yang disebut umat.  Jadi agama adalah suatu kepercayaan yang dianut oleh suatu masyarakat dan bersifat  suatu keyakinan yang kuat.

Contohnya : di lingkungan sekitar sekolah SMAN 2 PONTIANAK banyak terdapat baik siswa maupun guru yang memiliki perbedaan agama / keyakinan.  Tapi hal itu tak membuat suatu pertentangan yang mendasar untuk terjadinya suatu konflik/kecemburuan sosial.

e.       GENDER (JENIS KELAMIN)

Gender adalah pembedaan jenis kelamin antara wanita dan pria. Orang-orang terdahulu sering mngungkapkan “Untuk apa wanita sekolah tinggi, nanti paling di dapur juga kerjannya”.  Angapan tersebut sekarang sudah berubah, hal ini dapat dilihat dari kemajuan globalisasi yang membuat wanita dapat turun serta dalam pembangunan ekonomi di suatu negara.

Contohnya : dapat kita ambil dari mantan presiden kita Megawati Soekarno putri ia  dapt mengambil alih kekuasaan negara dan menjadi pemimpin negara.Selain itu dapat juga kita lihat dari sekolah-sekolah yang ada di lingkungan kita,  perempuan lebih dominan untuk bersekolah daripada laki-laki, dan tak jarang pula perempuan menjadi anggota politik dan sangat berperan aktif dari pada laki-laki.

BAB  III
KESIMPULAN

A.    KESIMPULAN

Kita mengetahui bahwa kita hidup dalam keanekaragaman atau perbedaan.  Perbedaan itu meliputi ras, etnis, klan, agama, jenis kelamin, dan profesi.   Kita sebagai makhluk sosial sudah seharusnya menghargai perbedaan tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

http://ockym.blogspot.com/2012/12/makalah-diferensiasi-sosial.html
More aboutMAKALAH DIFERENSIASI SOSIAL

MAKALAH BAB Muamalat, Jual Beli, Hutang Piutang, Riba

Posted by Unknown

BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang

Manusia adalah mahluk yang tidak dapat hidup sendiri yakni membutuhkan orang lain dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Baik dengan cara jual beli, sewa menyewa,pinjam-meminjam, bercocok tanam atau usaha- usaha yang lain, baik dalam urusan diri sendiri maupun untuk kemaslahatan umum. Agar hubungan mereka berjalan dengan lancar dan teratur, maka agama memberi peraturan yang sebaiki-baiknya.

Jual beli adalah kegiatan tukar menukar barang dengan cara tertentu yang setiap hari pasti dilakukan yang kadang kita tidak tahu apakah sah ataupun tidak. Utang piutang juga suatu kegiatan yang sangat kental dengan kehidupan manusia, dan kedua kegiatan muamalah tersebut sangat erat dengan riba.

Oleh krena itu, pada makalah ini akan memebahas tentang jual- beli, utang piutang, agar para penbaca tidak masuk dalam jurang riba.

B.     Rumusan Masalah

Dari latar belakang di atas, maka pada makalah ini dapat merumuskan Rumusan Masalah sebagai berikut:

1.      Apa Jual Beli Itu . . .?

2.      Apa Hutang Piutang Itu. .?

3.      Apa  Riba. . ?

BAB II
PEMBAHASAN

MUAMALAT JUAL BELI, HUTANG PIUTANG, RIBA

A.  Jual Beli

1.      Pengertian Jual Beli

Jual beli menurut pengertian lughawinya adalah saling menukar (menukarkan). Dan kata Al-Bai’ (jual) dan Asy-Syiraa (beli), dua kata ini masing-masing mempunyai makna dua yang sau sama lain bertolak belakang.

Menurut pengertian syariat, jual beli ialah pertukaran harta atas dasar saling rela. Atau memindahkan milik dengan ganti yang dapat dibenarkan (agar tebedakan dengan jual beli terlarang). Sedangkan dalam buku ‘Fiqih Islam’ pada bab Kitab Muamalat, jual beli adalah menukar suatu barang dengan barang yang lain dengan cara yang tertentu (akad).

Orang yang terjun ke dunia usaha,berkewajiban mengetahui hal-hal yang dapat mengakibatkan jual beli itu sah atau tidak. Hal ini dimaksudkan agar muamalat berjalan sah dan segala sikap atau tindakannya jauh dari kerusakan yang tidak dibenarkan.

Firman Allah SWT:

Artinya: “Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (Al-Baqarah: 275)

Hal yang menarik dari ayat tersebut adalah adanya pelarangan riba yang didahului oleh penghalalan jual beli. Jual beli adalah bentuk dasar dari kegiatan ekonomi manusia. Kita mengetahui bahwa pasar tercipta oleh adanya transaksi dari jual beli. Pasar dapat timbul manakala terdapat penjual yang menawarkan barang maupun jasa untuk dijual kepada pembeli. Dari konsep sederhana tersebut lahirlah sebuah aktivitas ekonomi yang kemudian berkembang menjadi suatu sistem perekonomian.

Namun, seperti apakah konsep jual beli tersebut yang dibolehkan dan sesuai dengan pandangan Islam? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, maka kita perlu melihat batasan-batasan dalam melakukan aktivitas jual beli. Al-Omar dan Abdel-Haq (1996) menjelaskan perlu adanya kejelasan dari obyek yang akan dijualbelikan. Kejelasan tersebut paling tidak harus memenuhi empat hal.

Mereka menjelaskan tentang lawfulness. Artinya, barang tersebut dibolehkan oleh syariah Islam. Barang tersebut harus benar-benar halal dan jauh dari unsur-unsur yang diharamkan oleh Allah. Tidak boleh menjual barang atau jasa yang haram dan merusak.

Masalah existence. Yaitu Obyek dari barang tersebut harus benar-benar nyata dan bukan tipuan. Barang tersebut memang benar-benar bermanfaat dengan wujud yang tetap.

Delivery. Artinya harus ada kepastian pengiriman dan distribusi yang tepat. Ketepatan waktu menjadi hal yang penting disini.

Precise determination. Yaitu Kualitas dan nilai yang dijual itu harus sesuai dan melekat dengan barang yang akan diperjualbelikan. Tidak diperbolehkan menjual barang yang tidak sesuai dengan apa yang diinformasikan pada saat promosi dan iklan.


            Dari keempat batasan obyek barang tersebut kemudian kita perlu melihat bagaimanakah konsep kepemilikan suatu produk dalam Islam. Al-Omar dan Abdel,Haq (1996) juga menjelaskan bahwa konsep kepemilikan barang itu adalah mutlak milik Allah yang terdapat dalam surah Al-Hadid: 7. Semua yang ada di darat, laut, udara, dan seluruh alam semesta adalah kepunyaan Allah. Manusia ditugaskan oleh Allah sebagai khalifah untuk mengelola seluruh harta milik Allah tersebut dan kepemilikan barang-barang yang menyangkut hajat hidup harus dikelola secara kolektif dengan penuh kejujuran dan keadilan.

2.      Hukum Jual Beli

Jual beli adalah perkara yang diperbolehkan berdasarkan Al-Kitab, As-Sunnah, Ijma serta Qiyas. Allah ta’ala berfirman dalam surat Al-Baqarah: 275 “dan Allah menghalalkan jual beli…”


Dan Nabi SAW berabda: “dua orang yang saling berjual beli punya hak untuk saling memilih selama mereka tidak saling berpisah, maka jika keduanya saling jujur dalam jual beli dan menerangkan keadaan barang-barangnya (dari aib dan cacat), maka akan diberikan barokah jual beli bagi keduanya, dan apabila keduanya saling berdusta dan saling menyembunyikan aibnya, maka akan dicabut barokah jual beli dari keduanya.” (Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Nasa'i, dan shahihkan oleh Syaikh Al Bany dalam shahih Jami no. 2886)

Dan para ulama telah ijma (sepakat) atas perkara (bolehnya) jual beli, adapun qiyas yaitu dari satu sisi bahwa kebutuhan manusia mendorong kepada perkara jual beli, karena kebutuhan manusia berkaitan dengan apa yang ada pada orang lain baik berupa harga atau sesuau yang dihargai (barang dan jasa) dan dia tidak dapat mendapatkannya kecuali dengan menggantinya dengan sesuatu yang lain, maka jelaslah hikmah itu menuntut dibolehkannya jual beli untuik sampai kepada tujuan yang dikehendaki.

Jual beli dibedakan dalam banyak pembagian berdasarkan sudut pandang. Adapun pengklasifikasian jual beli adalah sebagai berikut:

a.       Berdasarkan Objeknya

Jual beli berdasarkan objek dagangnya terbagi menjadi 3 jenis, yaitu:

1)      Jual beli umum

2)      Jual beli As-Sharf (money changer)

3)      Jual beli muqayadhah

b. Berdasarkan Standardisasi Harga

Jual beli Bargainal (tawar menawar)

2.      Jual beli amanah, dengan dasar ini jual beli terbagi menjadi 4 jenis:

·         Jual beli murabahah, yaitu jual beli dengan modal dan keuntungan yang diketahui

·        Jual beli wadhi’ah, yaitu jual beli dengan harga di bawah modal dan kerugian yang diketahui

·        Jual beli tauliyah, yitu jual beli dengan menjual barang sama dengan harga modal, tanpa keuntungan atau kerugian

·        Cara pembayaran (jual beli kont`n, jual beli nasi’ah, jual beli dengan penyerahan barang tertunda, jual beli dengan penyerahan barang dan pembayaran sama-sama tertunda.

3. Rukun Jual Beli

1. Penjual dan Pembeli

Syaratnya adalah:

a) Berakal, agar dia tidak terkecoh. Orang gila tidak sah jual belinya.

b) Dengan kehendak sendiri, tidak karena dipaksa atau suka sama suka.

c) Tidak mubazir (pemboros)

d) Balig

2. Uang dan Benda yang dibeli

Syaratnya adalah:

a) Suci,

b) Ada manfaatnya

c) Barang itu dapat diserahkan

d) Barang tersebut diketahui oleh penjual dan pembeli

3. Lafadz Ijab dan Kabul

            Dalam ijab Kabul tidak ada kemestian menggunakan kata-kata khusus, Karena ketentuan hukumnya ada pada akad dengan tujuan dan makna, bukan dengan kata-kata dan bentuk kata itu sendiri. Yang diperlukan adalah saling rela (ridho), direalisasikan dalam bentuk mengambil dan member atau cara lain yang dapat menunjukkan keridhaan dan berdasarkan makna pemilikkan dan mempermilikkan. Seperti ucapan penjual: aku jual, aku berikan, aku milikkan atau ini menjadi milikmu dan ucapan si pembeli: aku beli, aku ambil, aku terima, aku rela atau ambillah harganya. Akad juga sah dengan bahasa isyarat yang dipahami dari orang bisu. Karena isyarat bagi orang bisu merupakan ungkapan dari apa yang ada di dalam jiwanya tak ubahnya ucapan bagi orang yang dapat berbicara. Bagi orang bisu dapat berakad dengan tulisan, sebagai ganti dari bahasa isyarat, ini jika si bisu dapat memahami baca tulis.

4. Khiyar

Khiyar adalah mencari kebaikan dari dua perkara, yaitu melangsungkan jual beli atau mengurungkannya. Diadakan khiyar oleh syara’ agar kedua orang yang berjual beli dapat memikirkan kemashlahatan masing-masing lebih jauh, supaya tidak akan terjadi penyesalan dikemudian hari lantaran merasa tertipu. Khiyar ada 3 macam, yaitu:


a. Khiyar majelis


Artinya: “Si pembeli dan si penjual boleh memilih antara dua perkara tadi selama keduanya masih tetap berada di tempat jual beli. Khiyar majelis diperbolehkan dalam segala macam jual beli”.


Sabda Rasulullah SAW:


“Dua orang yang berjual beli boleh memilih (akan meneruskan jual beli mereka atau tidak) selama keduanya belum bercerai dari tempat akad.”

(Riwayat Bukhari dan Muslim)

Bagi tiap-tiap pihak dari kedua pihak ini mempunyai hak antara melanjutkan atau membatalkan selama keduanya belum berpisah secara fisik. Dalam kaitan pengertian bercerai dinilai sesuai dengan situasi dan kondisinya.

Albaihaqqi meriwayatkan dari Abdullah bin Umar, ia berkata: Aku pernah menjual kekayaanku yang ada di Wadi (lembah) dengan Amirulmukminin Utsman yang hartanya ada di Khaibar. Setelah Kami melangsungkan jual beli, Aku keluar mundur ke belakang dari rumahnya, Aku takut kalau-kalau ia mengembalikan jual beli. Menurut sunnah, bahwa kedua belah pihak yang melakukan jual beli boleh khiyar sebelum berpisah.

Seperti inilah yang dianut oleh Jumhur sahabat dan tabi’in. Dari kalangan Ulama, Asy-syafi’I dan Ahmad paham ini mereka mengatakan:

Sesungguhnya khiyar majelis itu beralasan baik dalam jual beli, shulh (perjanjian damai), hiwalah (tukar menukar) maupun ijarah (sewa menyewakan), dan semua jenis akad pertukaran yang lazim dalam urusan harta.

Adapun akad lazim yang bukan bermotifkan ganti seperti akad perkawinan dan perceraian, untuk jenis ini khiyar tidak berlaku.


b. Khiyar syarat

Yaitu penjualan yang di dalamnya syaratkan sesuatu baik oleh penjual maupun oleh pembeli, seperti seorang berkata, “saya jual rumah ini dengan harga Rp100.000.000,- dengan syarat khiyar selama 3 hari.

Rasulullah SAW bersabda:


“Kamu boleh khiyar pada setiap benda yang telah dibeli selama tiga hari tiga malam.”( H.R. Baihaqi dan Ibnu Majjah).


            Barang yang terjual itu sewaktu dalam masa khiyar kepunyaan orang yang mensyaratkan khiyar, kalau yang khiyar hanya salah seorang dari merak`. Tetapi kalau kedua duanya mensyaratkan khiyar, maka barang itu tidak dipunyai oleh seorang pun dari keduanya. Jika jual beli sudah tetap akan diteruskan, barulah diketahui bahwa barang itu kepunyaan pemilik mulai dari masa akad. Tetapi kalau jual beli tidak diteruskan, barang itu tetap kepunyaan si penjual. Untuk menuruskan jual beli atau tidaknya, hendak lah dengan lafadz yang jelas menunjukkan terus atau tidak nya jual beli.


c. Khiyar ‘Aib

Artinya dalam jual beli ini disyaratkan kesempurnaan benda benda yang dibeli, seperti seorang berkata : “ saya beli mobil itu mobil itu seharga sekian, bila mobil itu cacat akan saya kembalikan ”, seperti yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Daud ari ‘Aisyah R.A bahwa seseorang membeli budak, kemudian budak tersebut disuruh berdiri didekatnya, didapatinya pada budak itu kecacatan, lalu diadukannya kepada Rasul, maka budak itu dikembalikan pada penjual itu.

Adapun cacat yang terjadi sesudah akad sebelum barang diterima, maka barang yang dijual sebelum diterima oleh pembeli masih dalam tanggungan si penjual. Kalau barang ada ditangan si pembeli, boleh dikembalikan serta diminta kembali uang nya. Akan tetapi, kalau barang itu tidak ada lagi, umpamanya yang dibeli itu kambing, sedangkan kambing nya sudah mati, atau yang dibeli tanah, sedangkann tanah itu sudah diwakafkan nya, sesudah itu si pembeli baru mengetahui bahwa yang di beli nya ada kecacatan, maka dia berhak meminta ganti kerugian saja sebanyak kekurangan harga barang sebab adanya cacat itu.


5. Berselisih Dalam Jual Beli

Penjual dan pembeli dalam melakukan jual beli hendaknya berlaku jujur, berterus terang, dan mengatakan yang sebenarnya, maka jangan berdusta dan jangan bersumpah dusta, sebab sumpah dan dusta menghilangkan berkah jual beli. Rasulullah SAW bersabda:


“BERSUMPAH dapat mempercepat lakunya degangan, tetapi dapat menghilangkan barokah” (HR Bukhari Dan Muslim).


            Para pedagang jujur, benar, dan sesuai dengan ajaran islam dalam berdagang nya didekatkan dengan para nabi, para sahabat dan orang orang yang mati syahid pada hari kiamat.

Bila antara penjual dan pembeli berselisih pendapat dalam suatu benda yang diperjual belikan, maka yang dibenarkan ialah kata kata yang punya barang, bila antara keduanya tidak ada saksi dan bukti lainnya. Rasulullah SAW bersabda:”Bila penjual dan pembeli berselisih dan antara keduanya tak ada saksi, maka yang dibenakan adalah perkataan yang punya barang atau di batalkan.”(HR Abu Dawud).

6. Lelang (Muzayadah)

Penjualan dengan cara lelang disebut muzayadah. Penjualan seperti ini dibolehkan oleh agama islam, karena dijelaskan dalam keterangan:

“Dari Annas r.a. ia berkata, Rasulullah SAW. Menjual sebuah pelana dan sebuah mangkok air dengan berkata siapa yang mau membeli pelana dan mangkok ini? Seorang laki-laki menyahut: aku bersedia membelinya seharga satu dirham. Lalu nabi berkata lagi, siapa yang berani menambahi? Maka diberi dua dirham oleh seorang laki-laki kepada beliau, lalu dijuallah kedua benda itu kepada laki-laki tadia.” (HR. Tirmidzi)

7. Sebab-sebab Dilarangnya Jual Beli

Larangan jual beli disebabkan karena dua alasan, yaitu:

a. Berkaitan dengan objek

Tidak terpenuhniya syarat perjanjian, seperti menjual yang tidak ada, menjual anak binatang yang masih dalam tulang sulbi pejantan (malaqih) atau yang masih dalam tulang dada induknya (madhamin).

Tidak terpenuhinya syarat nilai dan fungsi dari objek jual beli, seperti menjual barang najis, haram dan sebagainya.

Tidak terpenuhinya syarat kepemilikan objek jual beli oleh si penjual.

b. Berkaitan dengan komitmen terhadap akad jual beli

Jual beli yang mengandung riba

Jual beli yang mengandung kecurangan.

Ada juga larangan yang berkaitan dengan hal-hal lain di luar kedua hal di atas seperti adanya penyulitan dan sikap merugikan, seperti orang yang menjual barang yang masih dalam proses transaksi temannya, menjual senjata saat terjadinya konflik sesama mulim, monopoli dan sejenisnya. Juga larangan karena adanya pelanggaran syariat seperti berjualan pada saat dikumandangkan adzan shalat Jum’at.

B.   Hutang Piutang (al-Qardh)

1.      Pengertian dan Landasan Hukum

Secara etimologi, qardh berarti al-qath’I yaitu memotong. Di dalam kamus Al-Munawwir al-qardh berarti al-sulfah yaitu pinjaman. Pengertian qardh menurut terminologi, antara lain dikemukakan oleh ulama Malhkiyah adalah “sesuatu penyerahan harta kepada orang lain yang tidak disertai imbalan atau tambahan dalam pengembaliannya.”

Sedangkan menurut ulama Syafi’iyah, qardh mempunyai pengertian yakni akad pemilikan sesuatu untuk dikembalikan dengan yang sejenis atau yang sepadan.

Dari definisi tersebut tampaklah bahwa sesungguhnya qardh merupakan salah satu jenis pendekatan untuk bertakarrub kepada Allah dan merupakan jenis mu’amalah yang bercorak pertolongan kepada pihak lain untuk memenuhi kebutuhannya.

Allah berfirman dalam Al-qur’an

 “Siapakah yang mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, Maka Allah akan melipat-gandakan (balasan) pinjaman itu untuknya, dan Dia akan memperoleh pahala yang banyak.” (QS. Al-Hadid: 11)

Rukun dan Syarat al-Qardh

Adapun yang menjadi rukun qardh adalah:

a.       Muqridh (yang memberikan pinjaman).

b.      Muqtaridh (peminjam).

c.       Qardh (barang yang dipinjamkan)

d.      Ijab qabul

Sedangkan syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam akad qardh adalah:

a)      Orang yang melakukan akad harus baligh, dan berakal.

b)      Qardh harus berupa harta yang menurut syara’ boleh digunakan/dikonsumsi.

c)      Ijab qabul harus dilakukan dengan jelas.

2.      Larangan Meraih Keuntungan (Manfa’at) Melalui Qardh

            Aqad qardh dimaksudkan untuk menolong sesama muslim, bukan bertujuan untuk memperoleh keuntungan. Para Fuqaha sepakat bahwa jika pinjaman dipersyaratkan agar memberikan keuntungan apapun bentuknya atau tambahan kepada pihak muqaridh, maka yang demikian itu haram hukumnya.

            Jika keuntungan tersebut tidak disyaratkan dalam akad atau jika hal tersebut telah menjadi kebiasaan di masyarakat menurut mazhab Hanafiyah adalah boleh.

            Fuqaha Malikiyah membedakan utang piutang yang bersumber dari jual beli dan utang piutang saja. Dalam hal utang piutang yang bersumber dari jual beli, penambahan pembayaran yang tidak disyaratkan adalah boleh. Sedangkan dalam hal utang piutang penambahan pembayaran yang tidak dipersyaratkan dan tidak dijanjikan karena telah menjadi adat kebiasaan di masyarakat hukumnya haram. Penambahan yang tidak dipersyaratkan dan tidak menjadi kebiasaan masyarakat, baru boleh diterima.

C. RIBA


1. Arti Riba

            Riba menurut etimologi adalah kelebihan atau tambahan, menutur etimologi, riba artinya kelebihan pembayaran tanpa ganti rugi atau imbalan, yang disyaratkan bagis salah seorang dari dua orang yang melakukan transaksi Misalnya, Si A memberi pinjaman kepada si B dengan syarat si B harus mengembalikan uang pokok pinjaman dan sekian persen tambahnya

2. Dasar Hukum Keharaman Riba

Sebagai dasar riba dapat diperhatikan Firman Allah SWT, sebagai berikut;

Artinya.
“Sesungguhnya Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”.

(Al- Baqoroh / 2:275)

Riba hanyalah berlaku pada benda – benda seperti emas, perak, makanan dan uang. Karena itu tidak diperbolehkan menjual emas dengan emas, perak dengan perak, kecuali jika harganya sebanding dan dilakukan dengan kontan. Tidak diperbolehkan menjual sesuatu barang, dimana barang tersebut belum berada ditangannya (misal A membeli barang tersebut kepada si B)

Tidak diperbolehkan pula menjual daging dengan binatang yang masih hidup. Tidak diperbolehkan juga menjual emas dengan ditukar dengan perak yang harga nilainya tidak sebanding. Demikian pula menjual makanan, tidak diperbolehkan dijual dengan makanan sejenis, kecuali jika sebanding harganya. Tidak diperbolehkan pula jual beli barang sejenis daripadanya dengan barang yang tidak seimbang harganya. Tidak diperbolehkan pula beli barang yang belum menjadi miliknya, misalnya menjual burung yang bebas terbang di udara dan lain – lain

Pada ayat ini juga disebutkaan:


Artinya : “Hai orang – orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertaqwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapatkan keberuntungan” (Ali imran/3 : 130)

Dalam sebuah hadits dijelaskan konsekuensi kaharaman itu, terdapat sanski sebagaimana sabda Rasulullah SAW.

Artinya: “Dari Jabir, Rasulullah SAW. Melaknat yang memakan riba, yang mewakilinya, penulisnya dan kedua saksinya dan Rasul berkata, mereka semua berdosa.” (Riwayat Muslim dari Jabir)

Setiap orang Islam dan mukalaf sebelum terlibat dalam satu urusan, terlebih dahulu wajib mengetahui apa – apa yang dihalalkan dan diharamkan Allah. Sesungguhnya Allah telah membebani kita dengan tugas – tugas mengabdi. Oleh karena itu,, mau tidak mau harus memelihara apa yang ditugaskan kepada kita. Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba

Allah telah mengayidi kata jual beli dengan alat memakrifatkan, yakni اَÙ„ْ dan اَÙ„ْبَÙŠْعُ Jual beli ini diikat oleh beberapa ikatan – ikatan, syarat, dan rukun yang harus dipelihara semua.

Jadi orang yang hendak jual beli wajib mengetahui hal – hal tersebut. Jika tidak, jelas akan makan riba, mau tidak mau  Rasulullah telah bersabda. “Pedagang yang jujur, besok pada hari kiamat digiring bersama dengan orang – orang yang jujur dan orang – orang yang mati sahid”.

Semua itu tidak lain kecuali karena sesuatu yang dia lakukan yaitu berperang melawan hawa nafsu dan keinginan (yang menyeleweng) serta memaksa nafsunya untuk menjalankan akad sesuai dengan apa yang diperintahkan Allah. Jika tidak, maka tak samar lagi pasti mendapat apa yang akan diancamkan Allah kepada orang yang melanggar batas – batas, Kemudian sesungguhnya semua akad, seperti akad ijarah (persewaaan), qirad (andil berdagang), rohn (gode), wakalah, wadiah, ariah, sirkah, musaqah, dan sebagainya, wajib dijaga syarat – syarat dan rukun – rukunnya Akad nikah (malah) membutuhkan kehati – hatian dan ketelitian untuk menghindari kejadian yang ada kaitannya dengan ketidaksempurnaan syarat dan rukun (jika tidak sah nikahnya lantas istri disetubuhi, maka berarti berzinah)

3.      Macam – Macam Riba


Menurut para ulama, riba ada empat macam:

a. Riba Fadli, yaitu riba dengan sebab tukar menukar benda, barang sejenis (sama) dengan tidak sama ukuran jumlahnya. Misalnya satu ekor kambing ditukar dengan satu ekor kambing yang berbeda besarnya satu gram emas ditukar dengan seperempat gram emas dengan kadar yang sama. Sabda Rasul SAW

Artinya:“ Dari Abi Said Al Khudry, sesungguhnya Rasulullah SAW. Telah bersabda, “Janganlah kamu jual emas dengan emas kecuali dalam timbangan yang sama dan janganlah kamu tambah sebagian atas sebagiannya dan janganlah kamu jual uang kertas dengan uang kertas kecuali dalam nilai yang sama, dan jangan kamu tambah sebagian atas sebagiannya, dan janganlah kamu jual barang yang nyata (riil) dengan yang abstrak (ghaib).” (riwayat Bukhari dan muslim)

Riba Fadli atau riba tersembunyi ini dilarang karena dapat membawa kepada riba nasi’ah (riba jail) artinya riba yang nyata

b. Riba Qardhi, yaitu riba yang terjadi karena adanya proses utang piutang atau pinjam meminjam dengan syarat keuntungan (bunga) dari orang yang meminjam atau yang berhutang. Misalnya, seseorang meminjam uang sebesar sebesar Rp. 1.000.000,- (satu juta) kemudian diharuskan membayarnya Rp. 1.300.000,- (satu juta Tiga ratus ribu rupiah)

Terhadap bentuk transsaksi seperti ini dapat dikategorikan menjadi riba, seperti sabda Rasulullah Saw.:

Artinya “Semua piutang yang menarik keuntungan termasuk riba.” (Riwayat Baihaqi)

c. Riba Nasi’ah, ialah tambahan yang disyaratkan oleh orang yang mengutangi dari orang yang berutang sebagai imbalan atas penangguhan (penundaan) pembayaran utangnya. Misalnya si A meminjam uang Rp. 1.000.000,- kepada si B dengan perjanjian waktu mengembalikannya satu bulan, setelah jatuh tempo si A belum dapat mengembalikan utangnya. Untuk itu, si A menyanggupi memberi tambahan pembayaran jika si B mau menunda jangka waktunya. Contoh lain, si B menawarkan kepada si A untuk membayar utangnya sekarang atau minta ditunda dengan memberikan tambahan. Mengenai hal ini Rasulullah SAW. Menegaskan bahwa:

Artinya: Dari Samrah bin Jundub, sesungguhnya Nabi Muhammad saw. Telah melarang jual beli hewan dengan hewan dengan bertenggang waktu.” (Riwayat Imam Lima dan dishahihkan oleh Turmudzi dan Ibnu Jarud)

d. Riba Yad, yaitu riba dengan berpisah dari tempat akad jual beli sebelum serah terima antara penjual dan pembeli. Misalnya, seseorang membeli satu kuintal beras. Setelah dibayar, sipenjual langsung pergi sedangkan berasnya dalam karung belum ditimbang apakah cukup atau tidak. Jual beli ini belum jelas yang sebenarnya. Sabda Rasulullah SAW.

Artinya:“Emas dengan emas, perak dengan perak, beras dengan beras, gandum dengan gandum, kurma dengan kurma, garam dengan garam, hendaknya serupa dan sama banyaknya, tunai dengan tunai, apabila berlainan jenisnya boleh kamu menjual sekehendamu asal tunai”. (Riwayat Muslim)

4. Sebab – Sebab Diharamkannya Riba

 Allah SWT melarang riba antara lain karena perbuatan tersebut dapat merusak dan membahayakan diri sendiri dan merugikan serta menyengsarakan orang lain

a. Merusak Dan Membayakan Diri Sendiri

Orang yang melakukan riba akan selalu menghitung – hitung yang banyak yang akan diperoleh dari orang yang meminjam uang kepadanya. Pikiran dan angan – angan yang demikian itu akan mengakibatkan dirinya selalu was – was dan khawatir uang yang telah dipinjamkan itu tidak dapat kembali tepat pada waktunya dengan bunga yang besar. Jika orang yang melakukan riba itu memperoleh keuntungan yang berlipat ganda, hasilnya itu tidak akan memberi manfaat pada dirinya karena hartanya itu tidak akan memberi manfaat pada dirinya karena hartanya itu tidak mendapat berkah dari Allah SWT.

b. Merugikan Dan Menyengsarakan Orang Lain

            Orang yang meminjam uang kepada orang lain pada umumnya karena sedang susah atau terdesak. Karena tidak ada jalan lain, meskipun dengan persyaratan bunga yang besar, ia tetap bersedia menerima pinjaman tersebut, walau dirasa sangat berat. Orang yang meminjam ada kalanya bisa mengembalikan pinjaman tepat pada waktunya, tetapi adakalanya tidak dapat mengembalikan pinjaman tepat pada waktu yang telah ditetapkan. Karena beratnya bunga pinjaman, si peminjam susah untuk mengembalikan utang tersebut. Hal ini akan menambah kesulitan dan kesengsaraan bagi kehidupannya.

Haram menjual barang yang belum diterima (oleh si penjual). menjual hewan dengan daging juga haram, hutang ditukar dengan hutang juga haram, begitupula dengan fuduly (si penjual bukan pemilik barangnya dan bukan sebagai wakil), menjual barang yang tidak dapat dilihat atau jual belinya orang yang tidak mukalaf, menjual barang yang tidak ada manfaatnya, menjual barang yang tidak bisa diserahkan, tanpa ijab qobul, menjual barang yang tidak di bawah hak milik seperti tanah mati atau orang merdeka, menjual barang yang samar atau najis, seperti anjing dan menjual barang yang memabukan atau yang diharamkan, semua adalah haram

Haram menjual sesuatu yang halal dan suci kepada orang yang diketahui bahwa sesuatu itu akan digunakan untuk bermaksiat Haram menjual barang yang dapat memabukan dan menjual barang yang cacat tanpa diberitahukan cacatnya

Harta peninggalan mayit tidak sah dibagi – bagikan atau dijual sekalipun hanya sedikit, seperenam dirham misalnya, selagi hutang – hutang simayit belum dilunasi, dan wasiat – wasiatnya harus dipenuhi. Jika belum naik haji, padahal sudah berkewajiban maka harus dipungutlah dulu ongkos untuk haji dan umrah sebelum diwaris, kecuali (boleh dijual) untuk memenuhi hal – hal diatas (untuk hutang – hutang / untuk haji/umrah) Jadi harta peninggalan mayit seperti digadaikan pada hal – hal di atas. Sebagaimana budak yang melukai, juga tidak boleh dijual sebelum dipenuhi hak yang berurusan dengan dirinya, kecuali jika yang memberi hutang (pada sayidnya) telah mengijinkan untuk menjual budak itu.

Haram melakukan (mempengaruhi) minat pembeli dengan maksud agar tidak membeli, kemudian disuruh membeli barang orang yang memepengaruhi tadi. Apabila sesudah barang ditetapkan (sudah sama – sama menyetujui antara penjual dan pembeli). Juga tidak boleh mempengaruhi penjual dengan maksud agar berpindah menjual kepadanya. Apabila jika dilakukan ketika masih hiyar, amat diharamkan (seperti masih tawan menawar) Haram pula membeli barang saat paceklik (harga pangan mahal) dan orang yang sangat membutuhkan bahan makanan, dengan tujuan untuk ditahan (disimpan) dan akan dijual bila dengan harga yang lebih mahal Haram berpura – pura nawar barang dengan harga mahal tapi tidak bermaksud ingin membeli tapi bermaksud membujuk orang lain (agar mau membeli dengan harga mahal)  Haram memisahkan antara budak perempuan dan anaknya sebelum tamyiz, semua itu haram. Demikian pula menipu atau berkhianat dalam urusan timbangan takaran, meteran, htungan dan atau berdusta
Haram menjual kapuk atau lainnya dari barang – barang dagangan kepada pembeli, tetapi disamping menjual juga memberi hutangnya kepada si pembeli beberapa dirham. Kemudian harga barang lebih mahal, hal ini dilakukan oleh si penjual karena demi hutangnya tersebut Demikian juga umpamanya, memberi hutang kepada pembuat tenun (atau penjahit) atau lainnya dari pekerjaan buruh, tapi sebelum diberi hutangnya, terlebih dahulu para peminta hutang itu disuruh dengan upah yang terlalu sedikit, demi hutang tersebut. Hal ini disebut dengan istilah rubtah, ini juga amat haram.

Haram memberi hutangan kepada para petani yang bayarnya secara tempo sampai saat panen, tapi dengan janji supaya hasil panen mereka dijual kepada si pemberi utangan tersebut dengan harga dibawah harga umum. Hal ini disebut dengan muqda

BAB III
PENUTUP

A.     Kesimpulan

a)      Jual beliadalah saling menukar (menukarkan). Dan kata Al-Bai’ (jual) dan Asy-Syiraa (beli), dua kata ini masing-masing mempunyai makna dua yang sau sama lain bertolak belakang. Menurut pengertian syariat, jual beli ialah pertukaran harta atas dasar saling rela. Atau memindahkan milik dengan ganti yang dapat dibenarkan (agar tebedakan

b)      Jual beli adalah perkara yang diperbolehkan berdasarkan Al-Kitab, As-Sunnah, Ijma serta Qiyas. Allah ta’ala berfirman dalam surat Al-Baqarah: 275 “dan Allah menghalalkan jual beli…”

c)      Dalam ijab Kabul tidak ada kemestian menggunakan kata-kata khusus, Karena ketentuan hukumnya ada pada akad dengan tujuan dan makna, bukan dengan kata-kata dan bentuk kata itu sendiri. Yang diperlukan adalah saling rela (ridho),

d)      Secara etimologi, qardh berarti al-qath’I yaitu memotong. Di dalam kamus Al-Munawwir al-qardh berarti al-sulfah yaitu pinjaman. Pengertian qardh menurut terminologi, antara lain dikemukakan oleh ulama Malikiyah adalah “sesuatu penyerahan harta kepada orang lain yang tidak disertai imbalan atau tambahan dalam pengembaliannya.”

e)       Aqad qardh dimaksudkan untuk menolong sesama muslim, bukan bertujuan untuk memperoleh keuntungan. Para Fuqaha sepakat bahwa jika pinjaman dipersyaratkan agar memberikan keuntungan apapun bentuknya atau tambahan kepada pihak muqaridh, maka yang demikian itu haram hukumnya.

f)        Riba menurut etimologi adalah kelebihan atau tambahan, menutur etimologi, riba artinya kelebihan pembayaran tanpa ganti rugi atau imbalan, yang disyaratkan bagis salah seorang dari dua orang yang melakukan transaksi

B.     Saran

Semoga dengan selesainya makalah ini, maka penyusun sangat mengarapkan respon dari para teman – teman mahasiswa ataupun dari dosen dan saran konstruktif dari siapapun datangnya, demi perbaikan makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat adanya, khususnya bagi penyusun sendiri, dan umumnya para pembaca lainnya.

Amin ya robbal a’lamiiin

DAFTAR PUSTAKA

Dr. H. Hendy Suhendi, M.Si, Fiqih Muamalah. 2002

H. Sulaiman Rasyid, Fiqih Islam. Pada bab kitab muamalah

http://youthecacoy.blogspot.com/2011/04/makalah-jual-beli.html

Lathif, AH. Azharuddin. Fiqh Muamalat. Jakarta : UIN Jakarta Press, 2005.

Suhendi, Hendi. Fiqh Muamalah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008.
More aboutMAKALAH BAB Muamalat, Jual Beli, Hutang Piutang, Riba

MAKALAH FILSAFAT HUKUM ISLAM, RASIO LOGIS ('ILLAT)

Posted by Unknown

I.             PENDAHULUAN
Allah SWT tidak menetapkan suatu hukum, kecuali untuk kemaslahatan hamba-Nya. Kemaslahatan itu ada dua macam. Pertama, berupa manfaat bagi manusia, dan kedua, berupa terhindarnya manusia dari kemudharatan (kesengsaraan). Oleh karena itu yang menjadi pendorong untuk menetapkan sesuatu hukum syara’ ialah mencari kemanfaatan dan menolak kemudharatan bagi manusia, dan pendorong inilah yang menjadi tujuan yang dicapai dengan menetapkan hukum itu.

Qiyas merupakan salah satu sumber hukum islam. Yang mana rukun qiyas adalah ashl (pokok), far’ (cabang), hukum ashl, ‘illat.‘Illat menempati urutan terpenting dalam permasalahan qiyas, karena sangat menentukan ada tidaknya qiyas. Berdasarkan ini, maka ulama’ begitu antusias untuk memperbincangkanya. Pada pembahasan kali ini, akan membahas tentang ‘illat.

II.          PERMASALAHAN
Dalam makalah ini akan dibahas mengenai beberapa masalah yang berkaitan dengan ‘illat. Masalah tersebut diantara lain adalah:

1.      Definisi ‘illat
2.      Syarat-syarat ‘illat
3.      Pembagian ‘illat
4.      Metode menentukan ‘illat

III.      PEMBAHASAN
1.      DEFINISI ‘ILLAT
‘Illat secara etimologi berarti “nama bagi sesuatu yang menyebabkan berubahnya keadaan sesuatu yang lain”. Misalnya, penyakit dikatakn ‘illat, karena dengan adanya “penyakit”  tersebut, tubuh manusia berubah dari yang sehat menjadi sakit.

Sedangkan ‘illat secara terminologi adalah suatu sifat yanng terdapat pada ashal (pokok) yang menjadi dasar untuk menetapkan hukum pada ashal dan untuk mengetahui hukum pada cabang yang hendak dicari hukumnya. Misalnya,  memabukan adalah suatu sifat yang terdapat pada khamar yang menjadi dasar untuk menetapkan keharaanya, dan untuk menetapkan keharaman setiap perasaan buah-buah yang memabukkan.[1]

2.      SYARAT-SYARAT ‘ILLAT
Syarat-syarat ‘illat yang telah disepakati oleh para ahli ushul itu ada 4 macam, yaitu[2] :

1.      ‘Illat itu harus berupa sifat  yang jelas, yakni dapat disaksikan oleh salah satu panca indra. Sebab, ‘illat itu gunanya untuk mengenal hukum yang akan diterapkan pada cabangnya, maka ia harus berupa sifat yang jelas dapat dilihat pada ashalnya sebagaimana dapat dilihat pada cabangnya. Misalnya, sifat yang membukkan yang dapat dilihat pada khamar (sebagai ashal qiyas) juga harus dapat dilihat pada perasaan (nabidz) buah-buahan yang memabukkan (sebagai cabang qiyas). Jika sifat itu masih samar-samar, tidak dapat dilihat dengan jelas, maka ia tidak dapat dipergunakanuntuk menetapkan ada atau tidaknya hukum pada cabang.

2.      ‘Illat itu harus berupa sifat yang sudah pasti (mundhabith). Artinya ia mempunyai hakikat yang nyata lagi tertentu yang memungkinkan untuk mengadakan hukum pada cabang dengan tepat atau dengan sedikit perbedaan. Karena asas qiyas itu ialah mempersamakan ‘illat hukum pada cabang dengan ashalnya. Persamaan ini mengharuskan adanya ‘illat secara pasti, sehingga memungkinkan persamaan hukum antara kedua peristiwa itu. Misalnya, diperbolehkan bagi seseorang yang mengadakan perjalanan atau bagi orang yang sakit  untuk tidak berpuasa dibulan ramadhan, ‘illatnya bukanlah menolak kemasyaqotan, sebab tidak semua orang yang sedang mengadakan perjalan atau sakit itu merasa masyaqoh berpuasa, tetapi ‘illatnya adalah bepergian atau sakit itu sendiri.

3.      ‘Illat itu harus berupa sifat yang sesuai dengan hikmah hukum. Maksudnya hubungan antara ada atau tidaknya hukum itu sesuai dengan maksud syara’ dalam mengadakan perundang-undangan, yaitu menarik kemaslakhatan dan menolak kemadharatan. Misalnya, seorang yang mencuri harta milik orang lain wajib dipotong tangannya. ‘Illat wajibnya ialah tindakan mencuri, dan ini sesuai dengan hikmah hukum itu, yakni memelihara harta milik oarang lain.

4.      ‘Illat itu bukan hanya terdapat pada ashal saja. Jadi ‘illat itu harus berupa sifat yang dapat diterapkan pada beberapa masalah selain masalah pada ashal itu. Sebab maksud mencari ‘illat pada ashal itu ialah untuk menerapkannya pada cabang. Misalnya, tidak boleh menetapkan ‘illat haramnya meminum khamar ialah karena ia minuman yang berasal dari perasan anggur yang sudah menjadi khamar (mempunyai sifat yang memabukkan). Sebab kalau dijadikan ‘illat, maka hal itu tidak terdapat pada minuman yang memabukkan yang bukan berasal dari perasan anggur. Dengan demikian jadilah minuman-minuman yang lain yang memabukkan itu tidak haram meminumnya, karena tidak dapat diqiyaskan  pada khamar (yang jadi ashal qiyas). Yang demikian ini tidak benar.

3.      PEMBAGIAN ‘ILLAT
Pembagian ‘illat ditinjau dari segi adanya anggapan dan ketiadaannya anggapan Syari’ terhadap sifat yang sesuai, maka para ahli ilmu ushul fiqh membagi sifat yang sesuai (munasib) menjadi empat macam, yaitu[3]:

1.      Munasib Muatstsar
Yaitu suatu sifat yang sesuai dimana Syari’ telah menyusun hukum yang sesuai dengan sifat itu. Berdasarkan nash atau ijma’, sifat itu telah ditetapkan sebagai ‘illat hukum yang disusun berdasarkan kesesuain denganya. Misalnya firman ALLAH SWT dalam surat Al-Baqarah : 222, yang artinya : “Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah “Haidh itu adalah suatu kotoran”, oleh sebab itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita diwaktu haidh.......”

Shighat nash telah jelas bahwa ‘illat hukum ini adalah kotoran. Oleh karena itu, maka kotoran tersebut yang mewajibkan menjauhkan diri dari wanita pada waktu haidhnya.

2.      Munasib Mulaim
Yaitu sifat yang sesuai yang mana Syari’ telah menyusun hukum yang sesuai dengan sifat itu, namun tidak ada nash maupun ijma’ yang menetapkannya sebagai ‘illat hukum menurut pandangan Syari’ itu sendiri,yang disusun sesuai dengan sifat itu. Misalnya, keadaan masih kecil bagi tetapnya kewalian seorang ayah dalam mengawinkan anak perempuan yang masih kecil. Hal itu disebabkan bahwasanya berdasarkan nash yang diperoleh ketetapan mengenai tetapnya perwalian bagi seorang ayah untuk mengawinkan putrinyayang masih perawan dan masih kecil. Baik nash maupun ijma’ tidak menunjukan bahwasanya ‘illat bagi tetapnya kewalian adalah keperawanan atau keadaan masih kecil, akan tetapi berdasarkan ijma’ diperoleh ketetapan penganggapan keadaan masih kecil sebagai ‘illat bagi kewalian terhadap harta kekayaan anak perempuan yang masih kecil.

3.      Munasib Mursal
Yaitu suatu sifat yang mana Syari’ tidak menyusun hukum sesuai dengan sifat itu, dan tidak ada dalil syari’ yang menunjukan akan anggapan-Nya dengan salah stu bentuk anggapan maupun penyia-nyiaan anggapan-Nya. Miasalnya, kemaslakhatan yang menjadi dasar para sahabat dalam membentuk hukum pembayaran pajak atas tanah pertanian, pembuatan mata uang, dan maslakhat-maslakhat lainnya yang disyariatka hukum atas dasar maslakhat itu, dan tidak ada dalil dari syari’ yang menganggap kemaslakhatan itu maupun dalil yang menyia-nyiakannya.

4.      Munasib Mulgha
Yaitu sifat yang mendasarkan hukum atas sifat itu terdapat perwujudan kemaslakhatan, namun Syari’ tidak menyusun sesuai denganya, dan syari’ tidak menunjukan berbagai dalil yang menunjukan pembatalan anggapannya. Misalnya, persamaan anak perempuan dan anak laki-laki dalam kekerabatan untuk mempersamakan mereka dalam bagian warisan. Ini tidak sah menjadikanya sebagai dasar pembentukan hukum atasnya.

4.METODE MENENTUKAN ‘ILLAT
Adapun metode untuk mengetahui ‘illat yang paling masyhur dikalangan ulama’ ushul fiqh itu ada tiga, yaitu[4]:
1.      Nash
Apabila nash Al-Quran atau dalam sunnah menunjukan bahwa ‘illat suatu hukum adalah sifat ini. Maka sifat tersebut menjadi ‘illat berdasarkan nash. Nash menunjukan bahwasanya ‘illat itu kadang kala jelas dan terkadang berupa isyarat yang tidak terang-terangan. Apabila lafazh yang menunjukan ke’illatan dalam nash itu tidak mengandung kemungkinan kecuali dalalah atas ke’illatan, maka dalalah nash atas ke’illatan sifat itu adalah jelas dan pasti.

2.        Ijma’
Apabila para mujtahid pada suatu masa sepakat atas ke’illatan suatu sifat bagi suatu hukum syara’, maka ke’illatan sifat ini bagi hukum tersebut ditetapkan berdasarkan ijma’. Misalnya, ijma’ para mujtahid, bahwasanya ‘illat kewalian keharta-bendaan atas anak kecil adalah keadaannya yang masih kecil.

3.      As-Sibr wat-Taqsim
As-Sibr ialah percobaan, dan dari lafazh itu munculah lafazh : al-misbar (alat untuk mengukur). Sedangkan Taqsim ialah pembatasan sifat-sifat yang layak untuk menjadi ‘illat pada ashl (pokok).

Apabila ada kejadian hukum syara’ yang tidak ada nash atau ijma’ yang menunjukan ‘illat hukum ini, maka mujtahid akan menempuh jalur sibr dan taqsim untuk mengetahui ‘illat hukum ini. Mujatahid akan membatasi sifat-sifat yang terdapat pada kejadian suatu hukum, dan layak bila ‘illat itu merupakan salah satu  sifat dari sifat-sifat itu. Ia mencoba dari satu sifat ke sifat yang lainya berdasarkan syarat-syarat yang harus dipenuhinya dalam ‘illat dan macam pengakuan (i’tibar) yang diakui. Berdasarkan percobaan ini, mujtahid menjauhkan sifat-sifat yang tidak layak dan menyisakan sifat yamg layak untuk menjadi ‘illat. Denganpenyingkiran dan penyisaan ini, i` dapat mengetahui kesimpulan bahwasanya sifat ini adalah ‘illat.

IV.           ANALISIS
‘Illat merupakan suatu sifat yang terdapat pada hukum syara’. Yang mana dalam mempersamakan ‘illat satu kejadian hukum dengan kejadian hukum yang lain dengan tujuan menetapkan hukum, terdapat kelemahan dan kelebihan mengenai ‘illat tersebut. Kelemahan ‘illat tersebut diantaranya adalah ‘illat timbul dari pendapat pribadi, yang dimungkinkan dalam menentukan ‘illat tesebut disertai dengan hawa nafsu.

Sedangkan kelebihan ‘illat adalah memudahkan menetapkan hukum suatu kejadian yang tidak ada nashnya dengan melihat ‘illat hukum suatu kejadian yang sudah ada nashnya.

V.               KESIMPULAN
‘Illat merupakan suatu sifat yang terdapat pada suatu ashal (pokok) yang menjadi dasar hukumnya, dan dengan sifat itulah dapat diketahui adanya hukum itu pada far’ (cabangnya).

‘Illat mempunyai syarat-syarat yang dipenuhi untuk dijadikan dasar hukum pada far’ nya. Syarat-syarat ‘illat yang telah disepakati oleh para ahli ushul fiqh itu ada 4 macam, yaitu :
1.      ‘Illat harus berupa sifat yang jelas
2.      ‘Illat harus berupa sifat yang sudah pasti
3.      ‘Illat harus berupa sifat yang sesuai dengan hikmah hukum
4.      ‘Illat itu bukan hanya terdapat pada ashal saja

Pembagian ‘illat ditinjau dari segi adanya anggapan dan ketiadaannya anggapan Syari’ terhadap sifat yang sesuai, maka para ahli ilmu ushul fiqh membagi sifat yang sesuai (munasib) menjadi empat macam, yaitu:
1.      Munasib Muatstsir (sifat yang sesuai yang memberikan pengaruh)
2.      Munasib Mulaim (sifat yang sesuai lagi cocok)
3.      Munasib Mursal (sifat yang sesuai lagi bebas)
4.      Munasib Mulgha (sifat sesuai yang sia-sia)

Adapun metode untuk mengetahui ‘illat yang paling masyhur dikalangan ulama’ ushul fiqh itu ada tiga, yaitu:
1.      Dengan nash
2.     Dengan ijma’
3.      Dengan As-Sibr wat-Taqim

VI.           PENUTUP
Demikianlah makalah yang dapat kami  sampaikan, kami sadar makalah ini masih kurang dari kesempurnaan. Jika ada kesalahan dan kekurangan, itu dikarenakan keterbatasan pengetahuan kami. Maka dari itu, kritik dan saran sangat kami butuhkan demi kesempurnaan makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA
Roy, Muhammad, Ushul Fiqh Madzhab Aristoteles, Yogyakarta : Safiria Insania press, 2004, cet. Ke 1
Praja, Juhaya S., Filsafat Hukum Islam, Bandung : Pusat Penerbitan Universitas, 1995
Yahya, Mukhtar H., Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam, Bandung : Al-Ma’arif, 1986, cet. 1
Qarib Ahmad, Terjemah Ilmu Ushul Fiqh, Semarang : Toha Putra Group, 1994, cet. 1
http://www.abuyahyabadrusalam.com/index.php?option=com_content&view=article&id=27:pentingnya-mengetahui-illat-hukum&catid=10:fiqih-dan-hadits&Itemid=22
http://imamuna.wordpress.com/2009/03/18/pelajaran-ketujuh-%E2%80%93-ushul-fiqih/

[1] Mukhtar Yahya, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam, (Bandung: Al-Ma’arif, 1986) cet. 1, hlm. 83
[2] Ibid, hlm. 86-88
[3] Ahmad Qarib, Terjemah Ilmu Ushul Fiqh, (Semarang: Toha Putra Group, 1994), cet. 1, hlm. 95-100
[4] Ibid, hlm. 101-109
More aboutMAKALAH FILSAFAT HUKUM ISLAM, RASIO LOGIS ('ILLAT)